Contoh Pidato yang bagus
Oleh
Angga Jaya Wardhana
"KAMI PEMUDA"
KEPOLOSAN
Di suatu pagi, sekitar 10 tahun lalu, saya dan Ayah
sedang jalan pagi. Di tengah perjalanan, saya bertanya padanya, “Yah,
aku nanti kalau sudah besar ingin menjadi presiden, bagaimana menurut
Ayah, apakah aku mampu dan baik untuk kehidupanku?” Pertanyaan lumrah
bagi bocah tengil (nakal) dan polos yang semalaman suntuk habis membaca
biografi Bung Karno karangan Cindy Adams itu. Sang Ayah gedhek-gedhek
(geleng-geleng) saja mendengar niat tulus sekaligus tanda lemahnya
pengetahuanku waktu itu. Ayah saya balik bertanya,” Memangnya kenapa
kamu mau jadi presiden, kamu kan pernah Ayah terangin kalau jadi
Presiden itu berat, menjadi pemimpin 200 juta lebih rakyat, harus
bekerja siang malam melayani masyarakat, harus menjalani proses kampanye
yang pasti menghabiskan uang banyak waktu sebelum jadi presiden, dan
yang terpenting adalah pasti dimimtai pertanggung jawaban di akhirat
atas semua hal baik buruknya kinerja kamu saat menjadi pemimpin atau
presiden. Apa kamu berani?”
Pertanyaan Ayah yang menggempur idealisme
saya, langsung membuat saya terdiam dan bingung. Saya tertunduk lesu,
menerawang kemungkinan-kemungkinan jika saya nekat menjadi presiden.
Ayah langsung menyadari kebimbangan saya, beliau pun menghibur saya,”
Kenapa bimbang, jika semua orang berpikiran sepertimu, terus siapa yang
mau menjadi presiden?” Benar juga perkataan ayahku, harus ada seseorang
yang mempunyai niat tulus untuk menjadi presiden, harus ada yang mau
memimpin 200 orang rakyat Indonesia, harus ada yang mau bekerja siang
malam melayani rakyat, harus ada yang mau mengucurkan uangnya untuk
memperjuangkan visi dan idealismenya, dan yang terpenting harus ada yang
mau diadili oleh Allah SWT nanti di akhirat atas pertanggung jawaban
negerinya. Semua itu berat, tapi penderitaan rakyat yang memimpikan
keadilan dan kemakmuran negerinya, jauh lebih berat dan perih dari itu
semua. Ya, aku tetap ingin jadi presiden!!
PRESIDEN MASA DEPAN
Sekarang
saya telah beranjak dewasa. Semakin mengerti asam garam kehidupan,
walau hanya secuil dari kisah kehidupan itu sendiri. Saya teringat
dengan percakapan Ayah dengan saya waktu saya kecil. Saya berasumsi
bahwa kebanyakan para remaja seumuran saya juga berpikiran seperti itu.
Masih buta akan dinamika pembangunan bangsa ini, apalagi politik. Saya
mencoba mengamati dari seluruh remaja yang saya kenal, hampir semuanya
tak ada yang tertarik pada politik.
Mereka beranggapan bahwa analogi
dari politik adalah tai kucing, yang seluruhnya berlumuran dengan
kekotoran dan dosa. Saya mafhum dengan kenyataan ini, karena mereka
sejatinya tak ada pendidikan politik sama-sekali yang dapat meningkatkan
rasa curious (ingin tahu)pada jiwa mereka. Pendidikan di negeri ini
hanya melayangkan pandangan mereka dengan membuka tabir politik yang
rumit, yang memaksa mereka untuk mengerti bahwa politik selalu saling
menjegal, seperti hukum rimba, siapa kuat dia menang, atau seperti hukum
kuis-kuis di televisi, siapa cepat dia dapat. Seluruh faktor tersebut
menjadi penyokong buruknya popularitas dunia politik di hamparan
pandangan para remaja.
Lalu akhirnya sama seperti Ayah saya, saya
bertanya, ” siapa yang akan mau menggantikan para presiden atau
wakil-wakil rakyat di masa yang akan datang?” Kita tahu bahwa kinerja di
semua zaman pemerintahan selalu saja jauh kurang dari harapan rakyat.
Selalu saja ada yang korupsi, selalu saja ada yang mengkhianati rakyat,
selalu saja salah dalam membuat dan menempatkan kebijakan, dengan
kenyataan masih banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro
rakyat. Jika kita mau memahami bahwa akar penyebab dari semua hal itu
adalah telah terdegradasinya mutu pendidikan di ibu pertiwi ini dari
waktu ke waktu. Mutu pendidikan yang saya maksudkan ini juga termasuk
kualitas-kualitas dari jiwa nasionalisme yang para pelajar miliki.
Mungkin 30 an tahun yang lalu, saat para pejabat yang terjerat kasus
korupsi masih remaja, mereka tak punya visi atau pandangan ke depan
bahwa mereka akan menjadi seorang wakil rakyat. Mereka bercita-cita
untuk menjadi seorang pengusaha yang bergelimang uang. Yang mereka
melihat politik adalah tai kucing.
KEBUN MAWAR
Mereka
umumnya memandang kekuasaan masih sebagai kebun mawar, bukan sebagai
sawah yang harus mereka olah dan tanami. Karena itu semua gerak politik
yang mereka lakukan hanya sebatas perebutan kekuasaan. Sebatas upaya
untuk bisa menikmati merekahnya mawar sambil makan pisang goreng dan
minum secangkir kopi di pagi hari.
Fenomena ini sangat menggelikan
saat kita mengetahui bahwa cara pandang mereka terhadap politik masih
sama sampai mereka tua dan menjadi pejabat. Lalu siapa yang bertanggung
jawab akan kebobrokan mekanisme pendidikan di negeri ini? Jawabannya
tentulah seluruh rakyat. Memang sifat dasar dari rakyat Indonesia adalah
mellow characteristic people, yang berarti rakyat Indonesia mudah
terpengaruh oleh keadaan suasana. Mudah menyerah pada kenyataan. Seperti
pasir yang berguling-guling mengikuti arus deras sungai. Tak ada
gertakan pembeda yang menyebabkan arus tersebut berubah haluan. Mengutip
pernyataan dari Mario Teguh, “This is not about them, but surely about
us.” Ini adalah bukan tentang mereka, tapi tentang kita. Keadaan di
tanah air ini bukanlah keseluruhan atas kesalahan mereka, yang telah
korupsi dan membunuh impian-impian rakyat. Tapi kesalahan kita semua,
rakyat-rakyat yang apatis, stagnan, nerimo ing pandum (nerima keadaan
apapun), dan hanya bisa saling menyalahkan.
FALSAFAH SENTER
Saya
masih ingat apa yang dikatakan oleh Bapak Hidayat Nur Wahid. Ketua MPR
kita. Beliau mengatakan politik itu adalah salah satu cara manusia dalam
membuat dirinya berguna bagi manusia-manusia lain di sekitarnya.
Sebagai pemahaman, saya akan menganalogikan politik seperti senter
menyala yang ditelungkupkan. Senter yang ditelungkupkan itu jika kita
tak mengangkatnya, maka sinar yang keluar, sama sekali tak terlihat atau
berefek pada keadaan sekitarnya. Setelah kita angkat sedikit, barulah
sinar itu terlihat, walaupun jangkauan cakupannya masih relatif kecil
atau sempit. Tetapi jika kita angkat sampai tinggi, maka sinar dengan
terangnya itu, dapat menyinari lantai di bawahnya dengan luas, dan semua
menikmati terangnya senter itu. Hal itu juga sama terjadi pada
kehidupan manusia. Jika status sosial kita yang tentunya didukung dengan
kelayakan kemampuan dan ketulusan tidak terlalu tinggi, maka rakyat
atau manusia di sekelilingnya tidak dapat merasakan keberadaan dirimu.
Sebaliknya jika stasus sosialmu tanggi, maka semua apa yang kamu
kerjakan dan perjuangkan, akan dapat dirasakan oleh semua rakyatmu atau
manusia disekelilingmu. Jadi politik diciptakan oleh Allah SWT. Bukanlah
untuk sekedar mencari kekuasaan atau harta yang melimpah. Tetapi adalah
suatu tindakan adi luhur yang menjadi jalan rakyat untuk mendapat
kebenaran,keadilan,dan kesejahteraan. Suatu upaya agung untuk mewujudkan
mimpi-mimpi tukang becak,pedagang sayur, sopir bemo, guru,
pelajar,orang tua,insinyur,ilmuwan,pengusaha, dan Presiden itu sendiri.
Bicara
tentang apa yang seharusnya dicita-citakan oleh para pemuda saat ini.
Saya jadi teringat pada percakapan informal antara seorang pengamat
politik bernama Sukardi Rinakit dengan Muhammad Yunus, peraih nobel
perdamaian tahun 2006. Cak Kardi bertanya,” Apa cita-cita Anda
sebenarnya? Apakah dari kecil ingin mendirikan pusat pemberdayaan
rakyat, seperti Gramen Bank?” Muhammad Yunus menjawab sambil tersenyum
kecil, “Saya hanya ingin menanam kebaikan.” Ternyata kebaikan yang
ditanamnya selama ini tumbuh subur dengan akar yang tertancap kokoh di
hati rakyat Bangladesh. Ia juga telah menginspirasi dunia.
Padahal,
siapa pun anak Indonesia tentu pernah mendapatkan nasihat dari orang
tuanya, yang mirip dengan ucapan Muhammad Yunus tersebut. Pada orang
Jawa, nasihat itu biasanya datang dari ibu, yang dengan tulus berkata
agar kita selalu nandur kebecikan (menanam kebaikan). Cita-cita
terpenting dalam hidup adalah menanam kebaikan.
Karena itu, di mata
seorang ibu, menjadi presiden,menteri, gubernur,direktur utama,dan
lain-lain adalah tidak penting. Gelar profesor,doktor,master adalah
tidak penting. Pangkat kapten maupun jendral juga tidak penting. Yang
terpenting adalah nandur kebecikan.
LANGKAH PERUBAHAN
Semangat
Muhammad Yunus itulah yang harus menjadi landasan berfikir para pemuda
saat ini dalam bercita-cita. Jika ada 100,1000,bahkan berjuta-juta
pemuda Indonesia hidup dalam nafas ketulusan menanam kebaikan, maka bisa
dibayangkan betapa nikmatnya hidup di alam Indonesia Raya ini. Betapa
sejahteranya bayi-bayi yang baru lahir, jika mengetahui negara yang akan
mereka tumpangi untuk hidup, telah memiliki ksatria-ksatria yang tulus
mendedikasikan dirinya untuk berpengaruh positif dalam dinamika
kehidupan masyarakat, terutama politik.
Lalu langkah apa yang
pertama-tama kita lakukan? Biarkanlah mereka yang korupsi, mereka yang
kebal hukum, mereka yang kita tak bisa berbuat apa-apa atas mereka,
terus dan terus menggerogoti negara ini. Tapi mulai sekarang...sentaklah
hatimu! Gugah jiwamu! Jangan biarkan diri kita dengan mereka tak ada
perbedaan. Buatlah perbedaan itu. Bangun jiwamu yang suci itu. Poles
dinding-dinding kesungguhanmu dengan idealisme-idealisme agungmu itu.
Jangan sampai tercemar pada realitas kebobrokan bangsa ini. Justru
buatlah realitas-relitas itu sebagai pecut atas nadi-nadi perubahan yang
akan kau kobarkan. Negeri ini tidak akan bosan menunggu gerakan-gerakan
pemuda Indonesia yang nasionalis, yang menjanjikan saripati perubahan
dalam setiap nafas yang mereka hembuskan.
SEKIAN... JANGAN LUPA PESAN PIN DI
TOKOPINMURAH.blogspot.com ya.. :) atau kunjungi website
www.kreasilangit.com ya.. :)